Kamis , 30 Maret 2023
Home / Berita Utama / Jahat Enak

Jahat Enak

Oleh Dahlan Iskan

 

MINGGU kemarin adalah hari bersejarah dalam hidup saya. Sejarah kecil: minum kopi terbanyak. Sampai lima jenis kopi. Sekali duduk. Dua jam.

Saya harus bisa memahami mengapa begitu banyak pembaca Disway yang gila kopi.

Saya juga ingin melupakan minyak goreng, batu bara, cabe, dan PMK. Setidaknya dalam dua jam itu.

Maka saya cari Jo. Ia seumur anak saya. Sekolahnya juga di Amerika, electrical engineering. Lalu sekolah lagi: balap mobil. Di Kanada. Untuk bidang tekniknya.

“Jangan ngopi dengan saya. Dengan teman saya saja. Kelas saya masih di bawahnya,” ujar Jo.

Maka saya diperkenalkan dengan teman seumurnya juga: Dukun Kopi. Sekolahnya di Melbourne, Australia. Jurusannya computer science.

Awalnya ia ke Australia karena terpaksa. Kakak perempuannya tidak kerasan di sana. Maka biar pun hampir naik kelas 2 SMA di St Louis Surabaya, Dukun Kopi mengulangi lagi kelas 1 di Australia.

Saya pun ke kafenya. Di Jalan Musi. The Little Prince.

Ternyata si Dukun Kopi mengajak temannya lagi. Yang lebih gila kopi. Sang teman, Arek Suroboyo. Kelahiran Krian.

Bapaknya jualan buah di pasar desanya. Ia lulus D3 perkapalan ITS. Mereka seumur. Lalu masuk ITATS untuk S-1. Sambil bekerja.

Nama anak ini Nasrullah. Ia datang menenteng sesuatu. Ada rodanya. Dibawa masuk ke kafe.

Ternyata ia datang naik kendaraan roda satu. Dengan ransel di punggungnya.

Tidak ada tempat parkir kendaraan jenis itu di depan cafe. Juga takut hilang. Harganya Rp 55 juta.

Nasrullah menaruh ransel di atas meja. Membukanya. Mengeluarkan isinya.

Ampuuuuun!

Ia keluarkan kompor mini, timbangan, saringan, shower, teko kaca, dan penggilas kopi.

Ia keluarga juga sachet (kantong plastik yang divakum) tipis berisi biji kopi yang sudah diroster.

Nama-nama kopi itu, berikut dari mana asalnya, tertulis di sachetnya. Dari Colombia, Panama, Latumojong, dan Tretes. Yang dari Colombia tidak hanya satu jenis.

Ada Emanuel Encro, ada Wush Wush, dan beberapa lagi yang saya tidak kuat mengingatnya.

Yang dari Panama pun ada jenis Elifa, Geisha, dan beberapa lagi. Yang Geisha pun ada yang dari kebun Santa Veresa dan dari Esmeralda.

Semua yang disebut tadi adalah kopi Arabica. Bukan Robusta.

“Di Australia hampir tidak ada yang minum kopi Robusta,” ujar Stevanus Ade, si Dukun Kopi.

Banyak negara hanya gemar Arabica. Banyak juga yang hanya menyukai Robusta. Italia dan Prancis adalah penggemar expresso Robusta.

“Saya ini penggemar kopi ribet,” ujar Nasrullah.

Setuju!

Mau minum kopi saja begitu banyak birokrasinya. Begitu rumit alatnya. Sudah di kafe pun masih bawa alat sendiri. Bahkan ia bawa air dari rumahnya.

“Kita mulai dari yang lokal dulu. Ini bagian dari kearifan lokal,” katanya. Tanpa tersenyum. Hanya saya yang tertawa kecil.

Nasrullah memasang timbangan. Lalu menaruh penggersa kopi di atas timbangan. Ia buka sachet Latumojong.

Ia sendok biji kopi dari dalamnya. Ia masukkan ke penggerus itu.

Hati-hati. Agar jangan terlalu banyak. “Harus hanya 15 gram saja,” katanya lirih.

Itu berarti sekitar 105 biji kopi. Yang sudah diroster. Ringan.

Nasrullah pun memutar alat di penggerus itu. Dengan tangannya. Memutarnya harus ke arah kiri.

Saya lupa alasannya. Tebaklah kalau bisa. Dua menit kemudian kopi sudah jadi bubuk.

Birokrasi berikutnya: teko kaca berisi air ia taruh di atas kompor mini.

Baca Selanjutnya>>>

Berita Lainnya

Perdes Ternak Belum Maksimal

KAUR, rakyatbengkulu.com – Untuk mendukung Pemkab Kaur menegakkan peraturan daerah (Perda) tentang hewan ternak, pemerintah desa …