
BENGKULU, rakyatbengkulu.com – Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu.
Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin.
Dan beliau tidak memperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah). (HR. Bukhari no. 1717 dan Muslim no. 1317).
Ada beberapa pelajaran yang terdapat di dalam hadist. Pertama, ibadah qurban selain bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, dari dimensi sosial juga untuk menyantuni kaum lemah.
Oleh karena itu, daging qurban hendaknya dibagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkannya.
Kedua, dengan demikian, orang-orang yang berhak menerima daging qurban dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu orang yang sengsara lagi faqir, orang yang ditunjuk oleh shohibul qurban (baik yang minta-minta maupun tidak minta-minta dan Shohibul qurban.
Ketiga, panitia dalam pelaksanaan qurban berbeda dengan aamil zakat. Oleh sebab itu, panitia qurban tidak berhak (dilarang) mendapatkan bagian atau jatah dari hasil sembelihan hewan qurban sebagai upah.
Mereka boleh menerima daging qurban dalam kapasitasnya sebagai mustahik, dan bukan sebagai upah.
Ibadah qurban selain bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, dari dimensi sosial juga untuk menyantuni kaum lemah.
Oleh karena itu, daging qurban hendaknya dibagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkannya.
Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.
“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Al Hajj: 28).(iks)